
Prof. Eko Haryono, pakar geomorfologi karst dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), meneliti sampel speleogenesis dari gua Laulawi di Pulau Muna dalam Ekspedisi Buteng. Penelitian ini merupakan misi dalam mengungkap masa lalu, masa kini, dan masa depan sekaligus mendukung upaya konservasi akuifer tersebut.
Keterlibatan Prof. Eko dalam ekspedisi ini berawal dari pertemuannya dengan Robin yang telah lama mengeksplorasi perairan Indonesia. Pertemuan itu terjadi di Buton Tengah, dimana Prof. Eko saat itu sedang melakukan penelitian. Menurut Robin, eksplorasi ini tidak hanya sekadar penemuan, tetapi juga upaya memahami sistem bawah tanah melalui pendekatan kolaboratif antara eksplorasi ekstrem, sains, dan warisan budaya.
Robin dan rekannya, Maria, kemudian menyusun proposal ekspedisi Nixie, yang melibatkan penjelajah dari berbagai negara, termasuk Prancis, Meksiko, Swedia, dan Indonesia. sebanyak 28 anggota tim dari berbagai negara tersebut kemudian bergabung di Pulau Muna, Sulawesi Selatan, Indonesia untuk #ExpeditionButeng.
Selama ekspedisi, tim berhasil memetakan gua Laulawi yang hingga saat ini telah terukur sepanjang 5,2 kilometer, dan proses pemetaan ini masih belum selesai. Disaat bersamaan, tim juga mengumpulkan sampel speleogenesis, hidrogeologi, dan DNA untuk dianalisis lebih lanjut oleh para ahli.
Sedangkan sampel speleogenesis yang diambil dari stalagmit dan stalaktit inilah kemudian dianalisis oleh Prof. Eko untuk merekonstruksi kapan gua tersebut terbentuk dan kapan gua itu tenggelam di dalam air. Sementara itu, sampel lainnya dianalisis oleh Ahmad Cahyadi dari bidang Hidrogeologi, serta tim biologi UGM untuk analisis DNA.
Temuan awal dari analisis Prof. Eko tersebut mengindikasikan bahwa Pulau Muna telah mengalami setidaknya empat kali proses pengangkatan geologis. Gua-gua yang kini berada di bawah air diperkirakan dulunya merupakan gua kering. “Kami ingin tahu kapan gua-gua ini tenggelam dan bagaimana prosesnya. Ini masih kami analisis, dan kami berharap dapat mempublikasikan hasilnya pada akhir tahun ini,” jelas Prof. Eko.
Hasil penelitian ini rencananya akan digunakan untuk mengusulkan Buton Tengah sebagai Geopark atau Warisan Dunia UNESCO. Selain itu, tim juga akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai pentingnya konservasi air tanah. “Sumber air tanah atau gua yang berair saat ini digunakan untuk PDAM. Padahal ini adalah kabupaten baru yang pembangunannya terus berkembang. Jika tidak berhati-hati, air tanahnya dapat tercemar,” jelas Prof. Eko.
Terlebih lagi, tambah Prof Eko, sumber daya alam di Kabupaten Buton Tengah ini terletak di gua-gua yang berarti rentan terhadap pencemaran. Oleh karena itu, pengendalian dan pemanfaatan ruang yang dapat menghasilkan bahan berbahaya bagi air tanah harus dikelola dengan baik. “Saat ini, di atas gua-gua tersebut sudah mulai dibangun berbagai bangunan. Informasi ini perlu disampaikan sejak dini agar tidak menimbulkan kerugian di kemudian hari. Jangan sampai limbah masuk ke dalam sistem perguaan,” tambah Prof. Eko.