Pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat dapat mendorong urbanisasi, yang pada akhirnya meningkatkan emisi karbon ke udara dan memengaruhi perubahan iklim global. Untuk memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim, diperlukan perencanaan yang matang. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah penggunaan lahan secara berkelanjutan.
Hal ini disampaikan Prof. Shew-Jiuan Su, Ph.D., Profesor Departemen Geografi dan Associate Vice President for General Affairs di National Taiwan Normal University, pada acara Geotalk 2025 di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu (22/1). Ia menekankan bahwa perencanaan tata guna lahan yang berkelanjutan merupakan kunci dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Dalam implementasinya, Ia menjelaskan bahwa perencanaan harus mempertimbangkan pengurangan emisi karbon, konservasi biodiversitas atau keanekaragaman hayati, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat urban. “Konsep perencanaan yang inklusif ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kota yang lebih hijau, tetapi juga lebih inklusif dan ramah bagi semua lapisan masyarakat,” terangnya.
Lebih lanjut, dalam upaya mencapai tujuan tersebut, setidaknya terdapat lima prinsip utama yang harus diterapkan. Pertama, perencanaan kota harus compact atau padat, dengan kepadatan tinggi dan penyebaran yang terbatas agar memungkinkan masyarakat untuk berjalan kaki, sehingga dapat mengurangi emisi karbon. Kedua, penggunaan transportasi umum yang terintegrasi sangat penting agar mobilitas masyarakat lebih efisien dan ramah lingkungan. Ketiga, infrastruktur kota harus dirancang dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan. Keempat, penerapan ekonomi sirkular, yang menekankan pada pengurangan sampah dan penggunaan kembali bahan-bahan yang ada. “Dan terakhir, semua langkah ini harus dilakukan secara bersama-sama, karena keberhasilan kota yang berkelanjutan memerlukan kolaborasi antara berbagai pihak,” tutupnya.
Pasalnya, perubahan iklim yang menjadi salah satu krisis global sudah dirasakan dampaknya di Indonesia. Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman,Ketua Harian I Tim Kerja FOLU Net Sink 2030 memberikan contoh konkret terkait dampak perubahan iklim, salah satunya adalah kebakaran gambut yang melanda lahan-lahan di Indonesia. “Kebakaran ini meluas karena massa gambut yang kering ikut terbakar, sehingga api bisa merambat ke lokasi lain secara tiba-tiba. Ketika gambut terbakar, asap yang dihasilkan sangat tebal dan berbahaya bagi kesehatan, khususnya pernapasan manusia. Tak hanya berdampak pada kesehatan, kebakaran gambut juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar,” ujarnya.
Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam mengatasi perubahan iklim melalui berbagai langkah dan terlibat aktif dalam perjanjian internasional. Salah satunya adalah dengan meratifikasi Paris Agreement pada tahun 2016. Di tahun yang sama Indonesia juga mengesahkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 yang memberikan dasar hukum dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Ia menambahkan terdapat lima sektor utama yang berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, yaitu sektor energi, limbah, industri proses dan produk (IPPU), pertanian, dan kehutanan atau FOLU. Menariknya, sektor FOLU memegang peran sangat penting karena sekitar 60 persen dari total emisi Indonesia berasal dari sektor ini. Upaya FOLU ini sejalan dengan amanah dari PBB untuk mengurangi emisi dan menjaga ketahanan lingkungan melalui target IFNET 2030.
“Artinya, keberhasilan Indonesia dalam mengurangi emisi sangat bergantung pada keberhasilan sektor FOLU, yang tidak hanya menjadi sumber emisi, tetapi juga memiliki potensi besar sebagai penyerap emisi melalui proses fotosintesis,” tambah Ruandha.
Begitu halnya Oki Hadian Hadadi, M.Sc., Sustainable Infrastructure Project Leader World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, menerangkan bahwa pihaknya juga turut memainkan peran penting dalam mendukung upaya menangani perubahan iklim dengan memanfaatkan teknologi Geographic Information System (GIS).
Misalnya, melalui penggunaan data GIS, WWF dapat memantau satwa liar dan keanekaragaman hayati secara lebih efektif. “Dengan menggunakan kamera tersebar di berbagai lokasi, kemudian dianalisis dan menjadi informasi penting yang bisa dijadikan rekomendasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan,” ujar Oki.
Selain itu, WWF juga mengembangkan sistem untuk memprediksi perubahan yang mungkin terjadi di suatu area, seperti kawasan hutan yang berpotensi terdegradasi, sehingga pengelola kawasan dapat lebih efisien dalam mengambil langkah-langkah preventif.
Inovasi lain dari WWF adalah sistem “Reconnect,” yang membantu menjembatani pihak-pihak yang berpotensi berinvestasi dalam program penghijauan, serta program One Planet City Challenge. WWF juga memberikan data tentang sebaran pemukiman, sungai, dan lahan untuk merancang kota-kota yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. “Data ini membantu menentukan jenis compactness atau kepadatan yang dibutuhkan untuk membangun kota yang lebih berkelanjutan,” imbuhnya.