
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang mempunyai keanekaragaman, mulai dari kesenian hingga kebudayaan, salah satunya adalah Pranata Mangsa, sistem penanggalan tradisional Jawa yang telah menjadi pedoman utama bagi petani dan nelayan.
Penerapan pranata mangsa menunjukkan bahwa orang Jawa tidak akan pernah lepas dari lingkungan. Sejak zaman dahulu, orang Jawa telah berpandangan bahwa perubahan cuaca dan musim menentukan apa yang harus dilakukan oleh mereka, misalnya dalam urusan bercocok tanam dan berlayar. Akan tetapi, di tengah perubahan iklim dengan pola musim dan cuaca yang tidak menentu, telah merubah kodrat alam menjadi menyimpang, kemarau menjadi hujan, pun sebaliknya musim hujan beralih ke kemarau.
Para Petani dan Nelayan mulai mengesampingkan indegeneous knowledge. Kearifan lokal dari leluhur yang mana didapatkan dari pengalaman nenek moyang mulai ditinggalkan. Padahal, Pranata Mangsa masih memiliki potensi sebagai strategi adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan.
Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam salah satu tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) mencoba mendalami kearifan lokal Pranata Mangsa ini dapat terus diwariskan dan dipahami sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi di tengah perubahan iklim.
Tim PKM tersebut beranggotakan lima mahasiswa, mayoritas berasal dari Fakultas Geografi UGM. Kelimanya yaitu Muhammad Lodhi Firmansyah (Antropologi Budaya, 2023), Mochammad Rafli Nur Setyawan (Kartografi dan Penginderaan Jauh, 2024), Fayyadh Faliha Faruq (Kartografi dan Penginderaan Jauh, 2024), Safrina Auliya Maruni (Kartografi dan Penginderaan Jauh, 2024), dan Nasywan Dody Kurniawan (Kartografi dan Penginderaan Jauh, 2024) sebagai ketua tim. Penelitian ini didampingi oleh Dr. Sandy Budi Wibowo, S.P., M.Sc., dosen Fakultas Geografi UGM.
Selaku ketua tim, Nasywan Dody Kurniawan, menyebut Pranata Mangsa ini perlu dilestarikan mengingat penggunaannya masih relevan di kalangan petani dan nelayan di DIY. Namun, di era modernisasi dan di tengah perubahan iklim ini semakin sedikit petani dan nelayan, bahkan generasi muda yang mengenal eksistensi Pranata Mangsa sebagai pedoman dalam melakukan usaha pertanian dan perikanan.
“Pranata mangsa ini dibuat melalui wawasan nenek moyang berdasarkan tanda-tanda alam dan perhitungan matematis yang kompleks, akan sangat disayangkan jika ilmu ini hanya dianggap budaya masa lalu. Padahal, masih dapat selaras dengan kebutuhan pertanian dan perikanan saat ini,” jelasnya.
Penelitian ini dimulai dari bulan Juli hingga Oktober 2025, dengan dilakukannya wawancara dan penyebaran kuesioner kepada kalangan petani dan nelayan yang berada di sembilan lokasi pantai dan dua belas lokasi sawah di DIY, mencakup kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul.
Berdasarkan pengambilan data yang dilakukan terhadap 204 responden, diperoleh adanya pergeseran pengetahuan pranata mangsa antar generasi. Pada kalangan nelayan, tingkat pemahaman kelompok usia 60 tahun ke atas masih berada di angka 71,54 persen, sedangkan pada kelompok usia 15–30 tahun hanya mencapai 51,27 persen. Hal serupa juga terjadi pada petani: kelompok usia lanjut mencatat pemahaman sebesar 65,32 persen, sementara generasi muda (Gen Z) hanya 42,22 persen. Temuan ini menegaskan bahwa pewarisan pengetahuan tradisional semakin melemah seiring berjalannya waktu.
Salah seorang nelayan di Pantai Sadeng, Pak Sarpan, menyebut Pranata Mangsa sebagai ilmu kejawaan yang perlu dilestarikan. Ia juga menuturkan, bahwa penggunaan Pranata Mangsa saat ini terkendala oleh perubahan iklim dan cuaca yang tidak pasti.
“Meskipun pranata mangsa ini agak terkendala oleh cuaca, dari pengetahuan para nelayan di sini, itu masih perlu dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam peramalan cuaca,” pungkasnya.
Tim berharap penelitian ini dapat mendorong kebijakan daerah dalam pelestarian kearifan lokal agar sistem ini dapat terus dipertahankan pada lintas generasi dan dapat diintegrasikan sebagai strategi modern dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, serta menjaga ketahanan pangan Indonesia. Dengan demikian, sistem penanggalan ini dapat terjaga eksistensinya di kalangan masyarakat, bukan hanya petani dan nelayan.