
Di sebuah kota yang kerap diasosiasikan dengan efficiency and futurism, terdapat pula narasi yang lebih senyap namun tak kalah kuat, upaya untuk merawat keterhubungan antara manusia, teknologi, dan alam. Selama hampir tiga pekan mengikuti ASEAN Summer Program dengan major Ecology and Earth System di Nanyang Technological University (NTU), Singapore, R. Muhammad Syarif Abdurrahman, peserta dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapati bahwa sustainability bukanlah sekadar ambisi negara maju, melainkan a way of thinking yang bisa dirawat dan diadaptasi, sejauh ada collective will dan clarity of vision.
Menurut Syarif, program ini tidak hanya menyuguhkan kuliah dan teori, tetapi mengantarkan peserta langsung ke the heart of urban sustainability practices di Singapura. Di Earth Observatory of Singapore (EOS), ia menyaksikan bagaimana multi-sensor spatial data integration digunakan dalam pemantauan geohazards secara real-time. Sebagai mahasiswa penginderaan jauh, ia tidak sekadar mengamati alat-alat canggih, tetapi mengalami sendiri bagaimana data bertransformasi menjadi instruments for mitigation and adaptive responses di tengah dinamika urbanisasi yang cepat. “Ruang laboratorium di sana bukan sekadar tempat riset, melainkan a coordination hub yang menjembatani scientific knowledge and policy decisions,” katanya.
Sementara itu, kunjungan ke Sungei Buloh Wetland Reserve menghadirkan pengalaman yang sama kuatnya, namun dengan lanskap dan suasana yang berbeda. Menyusuri jalur kayu di antara hutan mangrove dan suara alam yang alami, Syarif mencatat bagaimana konservasi tidak diposisikan sebagai antitesis pembangunan, melainkan sebagai an integral part of the urban system. Papan informasi yang terpasang di sepanjang jalur bukan sekadar pajangan edukatif, melainkan simbol dari intentional public awareness efforts untuk memastikan bahwa masyarakat tetap menjadi bagian dari ekosistem yang dilindungi.
Pengalaman lainnya hadir dalam kunjungan ke Sustainable Singapore Gallery, sebuah ruang interaktif yang memetakan perjalanan pembangunan negara kota ini. Melalui pameran imersif, peserta diajak menelusuri bagaimana kebijakan air, energi, transportasi, dan tata ruang tidak didekati secara sektoral, melainkan sebagai satu systemic whole. Dari presentasi kebijakan hingga interactive simulations, semua disusun untuk membentuk kesadaran bahwa keberlanjutan bukanlah hasil kebetulan, tetapi produk dari long-term commitment and precise planning.
Di luar ruang-ruang formal, sesi brown bag menghadirkan suasana formal-kasual yang justru membuka ruang pertukaran gagasan secara lebih reflektif. Dalam dua sesi bertema urban biodiversity dan water resilience management, peserta berkesempatan berdialog langsung dengan profesional dari sektor praktisi dan akademisi lingkungan dan pengelolaan sumber daya air. Materi yang dibawakan tidak hanya membumikan teori dalam konteks praktis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana tantangan ekologis di perkotaan bisa direspons melalui pendekatan lintas-disiplin. Melalui sesi ini, interaksi menjadi lebih cair namun tetap bernas, memungkinkan peserta menyaring pelajaran dari pengalaman lintas negara yang konkret.
Tentu, tidak semua berlangsung tanpa tantangan. Irama pembelajaran yang cepat, penggunaan bahasa Inggris teknis, serta dinamika kerja kelompok lintas budaya menuntut adaptasi. Namun dari pengalaman itulah, kemampuan untuk bernegosiasi, mendengar, dan menyampaikan ide secara sensitif berkembang. Final project pun menjadi medan nyata untuk menerjemahkan seluruh pengalaman menjadi sebuah Solusi, bukan hanya berbasis teori, tetapi juga kebutuhan lokal. Dalam proyek akhir berjudul “Blue Carbon or Blue Deception”, Syarif bersama timnya mengkaji secara kritis praktik blue carbon offsetting oleh korporasi, dan bagaimana retorika hijau yang digunakan kerap berujung pada greenwashing. Di mana citra keberlanjutan dibangun, namun tidak selalu diiringi oleh transformasi struktural yang nyata. Kajian ini mengangkat pentingnya akuntabilitas dalam narasi keberlanjutan, khususnya dalam konteks kawasan pesisir dan laut yang sering menjadi objek promosi karbon biru tanpa partisipasi komunitas lokal yang memadai.
Bagi Syarif, program ini bukan sekadar tempat belajar, melainkan an arena of convergence between knowledge and awareness. Ia kembali dengan gagasan untuk mengembangkan model riset kolaboratif yang mengintegrasikan penginderaan jauh, konservasi partisipatif, dan visualisasi spasial berbasis masyarakat. Bukan sebagai a replication of Singapore, tetapi sebagai a context-aware adaptation terhadap kondisi Indonesia yang kompleks dan kaya. Rather than being confined by narrow academic expectations, pengalamannya di NTU justru membuka wider intellectual and intercultural horizons. In a space that values process and genuine achievement over performance, ia menemukan bukan hanya pertumbuhan, tetapi juga kejelasan, tentang siapa dirinya, dan kepada siapa ia tak lagi perlu membuktikan apa pun. Ia pun menyadari bahwa deep learning doesn’t always align with the loudest voices, dan baginya, itu bukan masalah.
Dan ketika program usai, pelajaran sejatinya baru dimulai. Dalam setiap peta yang terbentang, selalu ada ruang yang belum terisi. Bukan untuk lebih banyak pembangunan fisik, tetapi untuk tumbuhnya kesadaran yang lebih halus dan mendalam. Ruang itu bukan sekadar kekosongan spasial, melainkan jeda yang penuh makna: tempat di mana ambisi diuji oleh kebijaksanaan, dan kemajuan diimbangi oleh empati. “Di sanalah keberlanjutan menemukan bentuk paling jujurnya, bukan dalam kecepatan pembangunan, tetapi dalam kesanggupan menjaga keseimbangan. Karena pada akhirnya, yang bertahan bukanlah mereka yang paling cepat melaju, tetapi mereka yang paling selaras: dengan alam, dengan sesama, dan dengan nurani mereka sendiri,” tutup Syarif.