Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin serius mewujudkan kesetaraan gender. Melalui Perda No. 4/2023 tentang Pengarusutamaan Gender, daerah ini berupaya menjadikan ruang publik lebih inklusif dan ramah bagi semua.
Surani Hasanati, Peneliti Kelompok Studi Gender & Pembangunan sekaligus Dosen Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengakui responsif gender DIY termasuk terbaik dibandingkan daerah lain dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) terbaik nasional.
“Meski demikian, hal itu harus terus ditingkatkan, mengingat tantangan semakin besar seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk perempuan,” ujarnya saat siaran radio pada Selasa (1/10).
Fasilitas publik yang tidak responsif gender dapat menjadi penghalang bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Karena sebagian besar aktivitas masyarakat terjadi di ruang publik. Prinsipnya, berbagai fasilitas publik tersebut harus memberikan rasa aman dan nyaman.
“Responsif gender ini bisa diartikan secara luas, kalau perempuan ya bagaimana berada di ruang publik selalu mendapatkan rasa aman, baik di transportasi seperti KRL dan lain. Tetapi dalam arti luas, responsif gender ini bisa nanti mengarah ke lansia, anak-anak hingga penyandang disabilitas,” terang Rani.
Selain itu, Ia menjelaskan maksud setara bukan secara fisik sama melainkan lebih pada kesesuaian dengan porsi kebutuhan.
“Misal fasilitas publik tempat menonton pertandingan, itu satu blok tangga kan sama semua, tetapi ketika menonton dan berdiri semua belum tentu yang perempuan selalu bisa melihat. Fasilitas itu setara tetapi belum sesuai porsi, kebutuhan, konsep setara belum final. Oleh karena itu butuh kesadaran bersama bagi orang di sekitar tentang responsif gender ini,” terangnya.
Ia juga menilai kebijakan responsif gender tidak sepenuhnya dipengaruhi jenis kelamin laki atau perempuan dari pihak yang terlibat dalam proses penyusunan. Pemimpin perempuan belum tentu kebijakannya selalu responsif gender, sebaliknya pemimpin laki-laki tak selalu anti terhadap gender.
Senada dengan hal tersebut, Umarudin Masdar, Anggota DPRD, menekankan bahwa responsif gender tidak semata-mata keterwakilan perempuan dan fasilitas fisik yang dibikin setara. Namun, juga pentingnya kesadaran seluruh masyarakat. Ketika semua sudah memiliki kesadaran yang baik, laki-laki sekalipun ketika menjadi pemimpin maka akan membuat kebijakan yang responsif gender.
“Maka paling penting kita harus terus menerus mengkampanyekan pentingnya membangun kesadaran untuk responsif gender, menurut kami menjadi kunci. Untuk semua generasi, termasuk kalangan orang tua juga harus menjadi sasaran kampanye responsif gender,” jelasnya.