
Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keselamatan berwisata, khususnya di destinasi wisata alam, Dr. Jaka Marwasta, M.Si., Dosen Laboratorium Kependudukan dan Sumberdaya Ekonomi (Lab KSE), Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), menjadi narasumber dalam Talk Show “Dialog Jogja Pagi” yang diselenggarakan oleh RRI Pro 1 FM, Senin (14/4).
Mengangkat tema wisata yang aman dan nyaman, Dr. Jaka Marwasta menekankan urgensi penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) atau aturan yang berlaku khusus bagi wisatawan, terutama pada lokasi wisata yang memiliki potensi membahayakan jiwa. Hal ini menjadi krusial mengingat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia yang selalu menarik wisatawan, termasuk wisatawan luar daerah dan mancanegara.
Dalam paparannya, Ia menggarisbawahi bahwa edukasi mengenai karakteristik bahaya pantai selatan, seperti fenomena rip current, perlu terus digencarkan. Menurutnya, banyak wisatawan terutama dari luar DIY, belum sepenuhnya memahami bahwa kondisi laut yang tampak tenang justru dapat menyembunyikan arus balik berbahaya.
“Rip current itu fenomena yang tidak ada di semua pantai. Di pantai selatan DIY, keberadaan rip current bisa berpindah-pindah tergantung pada morfologi pantai, termasuk juga karakteristik gelombangnya,” ungkap Dr. Jaka.
Ia menambahkan bahwa setidaknya tiap pantai dapat dikategorikan berdasarkan tingkat risikonya, yaitu rendah, menengah, atau tinggi. Sebagai contoh, Ia menyebutkan Pantai Parangtritis di DIY dikategorikan sebagai pantai dengan risiko tinggi.
Menurutnya, diperlukan kolaborasi multipihak, termasuk BPBD, Tim SAR, Dinas Pariwisata, dan pengelola wisata untuk meningkatkan mitigasi risiko. Selain itu, pengelola wisata lebih proaktif mengidentifikasi asal wisatawan, terutama mereka yang berasal dari luar daerah.
Lebih lanjut, anggota Laboratorium Kependudukan dan Sumberdaya Ekonomi (Lab KSE) ini mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk duduk bersama dan mengintensifkan upaya edukasi kepada masyarakat. Menurutnya, wisata bukan hanya tentang kunjungan, tetapi juga tentang memahami dan menghargai alam.
“Perlu ada kesepakatan bersama untuk merumuskan aturan yang harus dipatuhi wisatawan. Seperti di Bali, di mana ada aturan berpakaian saat memasuki pura. Kenapa tidak kita lakukan di wisata DIY? Di sana itu penghargaan terhadap budaya. Kalau di sini penghargaan terhadap alam. Karena alam punya cara mereka sendiri yang harus kita hargai sebagai manusia makhluk berbudaya,” pungkasnya.