Keindahan pantai di Gunungkidul, Yogyakarta, kembali dikejutkan oleh sebuah tragedi. Sebanyak 13 siswa dari Mojokerto terseret arus setelah berkunjung ke pantai Drini beberapa pekan lalu. Meskipun kejadian serupa bukanlah yang pertama kali, insiden ini kembali mengingatkan kita akan potensi bahaya yang tersembunyi di balik keindahan pantai, khususnya terkait fenomena arus balik atau rip current.
Bachtiar Wahyu Mutaqin, seorang pakar Geomorfologi dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa fenomena rip current adalah proses alam yang dapat terjadi di hampir semua pantai di Indonesia. Arus ini terbentuk ketika gelombang laut yang datang ke pantai bergerak secara horizontal, menekan ke arah daratan, sementara perbedaan kedalaman laut menciptakan tekanan lebih tinggi di beberapa titik. Ketika gelombang itu bertemu, terciptalah arus balik yang bergerak dengan cepat menuju laut lepas.
Faktor terjadinya rip current ini dapat disebabkan oleh perbedaan batimetri dan adanya penghalang seperti tanjung atau jeti. “Sepanjang sejarah memang korban di pantai selatan lebih banyak, tidak hanya di Gunung Kidul, tetapi juga di sepanjang pantai Yogyakarta dan pantai Jawa. Hal ini disebabkan oleh kondisi laut lepas yang tidak memiliki penghalang, angin kencang, serta cuaca ekstrem, yang meningkatkan pecah gelombang dan membangkitkan arus rip current,” tambahnya.
Menurutnya, salah satu yang menjadi kendala utama penyebab banyaknya korban adalah kurangnya pemahaman masyarakat, khususnya wisatawan tentang bahaya yang tersembunyi di balik keindahan pantai. Data menunjukkan bahwa sebagian besar korban adalah orang-orang yang tidak berasal dari daerah tersebut, seperti siswa-siswa maupun wisatawan mancanegara yang tengah berwisata.
Padahal, upaya antisipasi terhadap bahaya di pantai, seperti rip current, sudah dilakukan secara maksimal oleh tim SAR dan penjaga pantai. Namun, masalahnya adalah kurangnya pengetahuan yang memadai di kalangan pengunjung, terutama mereka yang tidak berasal dari daerah tersebut. Meski penelitian sudah dilakukan dan pemasangan tanda peringatan juga sudah tersebar, literasi terkait geomaritim atau geomorfologi pesisir masih perlu ditingkatkan.
“Literasi geomaritim memang masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Untuk meningkatkan pemahaman ini, banyak media yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, dengan memasukkan topik-topik terkait keselamatan di pantai, aktivitas maritim, dan bahaya yang ada ke dalam kurikulum sekolah, baik untuk siswa maupun guru. Selain itu, film atau materi visual yang edukatif juga bisa digunakan untuk menyampaikan informasi ini kepada masyarakat luas,” terangnya.
Ia juga membagikan beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi rip current bagi masyarakat awam. “Pengunjung bisa bertanya kepada penjaga pantai tentang area yang aman untuk berenang. Atau, jika tidak ada, mereka bisa melihat dari tempat yang lebih tinggi untuk mengetahui apakah terdapat zona pecah gelombang yang berwarna putih dan buihnya terputus atau tidak. Jika buih gelombang terputus, itu bisa menjadi indikasi adanya rip current.” ujarnya.
Jika buih tidak terputus, hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan melihat apakah terdapat perairan yang lebih tenang dan warnanya relatif berbeda dibandingkan dengan perairan di sekitarnya. Hal ini juga dapat menjadi tanda adanya arus balik. Ia menambahkan bahwa bentuk pantai juga dapat memberikan petunjuk, karena arus balik seringkali berasosiasi dengan pantai yang berbentuk bulan sabit.
Bachtiar mengingatkan untuk tidak panik ketika terjebak dalam arus rip current, “jangan panik, yang harus dilakukan adalah membiarkan tubuh kita terbawa sejauh mungkin oleh arus, lalu berenanglah ke kanan atau kiri saat energi arus mulai melemah,” tambahnya.
Kecepatan rip current yang bisa mencapai 5 meter per detik ini sangat sulit untuk dilawan, bahkan oleh perenang profesional sekalipun. Meskipun rip current tidak menenggelamkan seseorang secara langsung, namun dapat membuat korban kelelahan karena melawan arus. Oleh karena itu, pengetahuan tentang cara menghadapi situasi ini sangatlah penting. “Yang utama adalah jangan panik dan selalu memahami kondisi alam sekitar. Jika tidak tahu, minimal cari tahu. Jika tahu, kita bisa lebih siap menghadapi risiko yang mungkin terjadi,” kata Bachtiar menutup penjelasannya.