Studium Generale bertemakan “Population Dynamics, Sexual and Reproductive Health in Asia” merupakan program kolaborasi Fakultas Geografi dengan United Nations Population Fund (UNFPA) yang dilaksanakan pada Kamis (7/11). Acara ini menghadirkan narasumber Mr. Hassan Mohtashami sebagai perwakilan UNFPA Indonesia. Dalam pemaparannya, Mr. Hassan berbagi wawasan, khususnya terkait dinamika populasi serta pentingnya kesehatan seksual dan reproduksi di Asia, terutama di Indonesia.
Mr. Hassan menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen utama dalam kependudukan: kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan migrasi. “Dinamika kependudukan dapat dianalogikan sebagai tiga wheel gear yang saling terhubung. Ketika fertilitas di suatu negara meningkat, biasanya diikuti dengan rendahnya mortalitas dan tingginya migrasi masuk, yang dapat menyebabkan kondisi overpopulasi. Sebaliknya, jika fertilitas rendah diikuti mortalitas tinggi dan migrasi keluar yang tinggi, maka negara tersebut berpotensi mengalami krisis populasi,” jelasnya.
Mr. Hassan juga menyoroti bonus demografi dimana komposisi penduduk suatu negara didominasi oleh penduduk usia produktif. Menurutnya, Indonesia perlu memanfaatkan momentum bonus demografi ini. Namun, bonus demografi bukan hanya tentang kuantitas populasi usia produktif, tetapi juga kualitasnya. Bonus demografi hanya dapat memberikan manfaat maksimal jika penduduk usia produktif memiliki pendidikan yang memadai dan tingkat pengangguran yang rendah.
“With young, education, and employed population, the country will be moving forward. Oleh karena itu, pentingnya peran pemerintah dalam merumuskan kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan,” terang Mr.Hassan
Selain itu, isu kependudukan juga telah mengalami pergeseran. Fertilitas tinggi tidak lagi menjadi perhatian global, melainkan tren penurunan angka fertilitas yang disoroti. Sebagian besar negara di dunia tengah menghadapi penurunan dan stagnasi angka fertilitas, kecuali beberapa negara di Afrika yang masih mengalami peningkatan. Penurunan fertilitas ini menyebabkan peningkatan komposisi penduduk usia lanjut yang tidak produktif, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi.
“Tinggi rendahnya angka fertilitas merupakan cerminan dari kondisi sosial dan ekonomi yang berkembang di masyarakat. Di masa lalu, perempuan berusia 20-an tahun sudah banyak yang menikah dan memiliki anak. Kini, banyak perempuan usia 20-an yang memilih mengejar pendidikan tinggi di universitas. Tingginya biaya hidup dan kebutuhan akan keseimbangan antara pekerjaan dan merawat anak turut menjadi alasan mengapa tren kelahiran menurun,” tambah Mr. Hassan.
Tren ini mendorong beberapa negara untuk memberikan insentif agar warganya tertarik memiliki anak. Mr. Hassan memberikan contoh di Denmark, di mana pemerintah menawarkan voucher wisata bagi pasangan muda untuk mendorong kehamilan dan kelahiran. Di China, kebijakan satu anak telah diubah menjadi dua anak. Namun, berbagai program ini belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Menurut Mr. Hassan, pemerintah seharusnya tidak memaksa pasangan atau perempuan untuk memiliki anak. “Pregnancy should by choice not by chance. Kehamilan merupakan sebuah pilihan dan hak bagi tiap perempuan. Hamil atau tidak, kapan akan hamil dan berapa anak yang diinginkan seharusnya merupakan keputusan murni dari perempuan,” tegasnya.
Mr. Hassan juga mengajak para peserta, sebagai generasi penerus, untuk tidak melupakan aspek Sex and Reproductive Health Right (SRHR). Karena SRHR merupakan fondasi utama untuk mencapai kesetaraan gender dan pemenuhan hak asasi manusia, yang pada akhirnya mendukung pembangunan, perdamaian, dan keamanan.
Dalam pernyataan penutupnya, Mr. Hassan kembali menekankan bahwa kehamilan dan kelahiran adalah hak perempuan. Pemerintah tidak memiliki hak untuk memutuskan kapan dan berapa banyak anak yang harus dimiliki oleh seorang perempuan.