
Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) merupakan kerangka besar pembangunan kependudukan yang terdiri atas lima pilar utama: pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk, pembangunan keluarga, penataan persebaran penduduk, serta data.
Dalam kegiatan Pertemuan Advokasi Grand Design Pembangunan Kependudukan Kabupaten Gunungkidul, Dr. Umi Listyaningsih, S.Si., M.Si., dosen sekaligus Kepala Laboratorium Kependudukan dan Sumberdaya Ekonomi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (FGe UGM) menyampaikan bahwa GDPK bukan sekadar dokumen formal, melainkan peta jalan kebijakan yang disusun secara logis dan berbasis empiris dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Roadmap yang disusun berdasarkan asumsi tertentu sehingga membutuhkan review atau peninjauan apakah bangun asumsi masih relevan atau perlu penyesuaian,” terangnya, pada Jum’at (23/5).
Ia memberikan contoh terkait pilar pengendalian kuantitas penduduk. Target nasional adalah mencapai pertumbuhan penduduk yang seimbang, yaitu pada angka Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2,1 dan Net Reproduction Rate (NRR) sama dengan 1. Namun, Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2024 mencatat TFR sebesar 1,9, sehingga tantangan ke depan adalah menjaga atau meningkatkan angka tersebut agar tetap berada di ambang batas ideal.
Menurutnya, hal ini menunjukkan perlunya pergeseran arah kebijakan dari anti-natalis menjadi pro-natalis. Meski demikian, tren global seperti peningkatan pendidikan perempuan, partisipasi kerja perempuan, dan peningkatan standar ekonomi masyarakat cenderung bersifat anti-natalis.
Dr. Umi juga menyoroti adanya anomali dalam kondisi kependudukan Gunungkidul, yakni tingginya angka kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi (unmet need KB), meskipun angka fertilitas relatif rendah. Sebagian besar masyarakat Gunungkidul tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian, dan rata-rata jumlah anak yang dimiliki hanya satu hingga dua orang. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri mengenai fungsi anak sebagai tenaga kerja dalam keluarga.
Berdasarkan data dependency ratio, Gunungkidul diprediksi tidak akan mengalami bonus demografi karena struktur usia penduduknya sudah menua, dengan proporsi lansia melebihi 10 persen. Oleh karena itu, menurut Dr. Umi, kebijakan lanjut usia harus mendapat prioritas agar para lansia tetap mandiri secara ekonomi, fisik, psikis, maupun sosial.
“Kebijakan kelanjutusiaan harus mendapat prioritas agar keberadaannya tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat. Lansia Berdaya secara ekonomi, fisik, psikis, dan sosial harus menjadi penekanan program pembangunan di segala bidang,” ungkapnya.
Selain itu, isu pernikahan usia dini yang sempat menurun kembali meningkat akhir-akhir ini. Menurut Dr. Umi, upaya kampanye penundaan usia perkawinan pertama, khususnya kepada generasi muda, perlu terus digencarkan secara luring. Hal ini didorong oleh pertimbangan kesehatan reproduksi, kemiskinan, dan hak asasi manusia. Kegagalan keluarga dalam menjalankan fungsinya sebagai tempat pendidikan dan tumbuh kembang anak perlu kembali didengungkan. Anak membutuhkan sosok ibu dan ayah sebagai teladan dalam bersikap serta lingkungan sosial yang kondusif.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kependudukan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kalurahan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPMKP2KB) Kabupaten Gunungkidul, ini diikuti oleh Bappeda, OPD penyusun GDPK 2022 (BPS, Dinsos, Dinkes, Dikbud, Disdukcapil, Kementerian Agama), serta para Kader KB.