Karst adalah sebuah istilah dalam Bahasa Jerman yang diturunkan dari Bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi yang sering ditemui di banyak daerah yang berbatuan karbonat atau batuan lain yang memiliki sifat mudah larut. Definisi yang lebih spesifik diungkapkan oleh Ford dan Williams (1992) yang mendefinisikan karst sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuklahan yang diakibatkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Saat ini, istilah ini sudah jamak digunakan untuk menyebutkan bentuklahan yang secara dominan terbentuk akibat pelarutan batuan. Karst di wilayah Gunungkidul pertama kali diperkenalkan oleh Danes (1910) dan Lehmann (1936) dan lebih dikenal di dunia dengan nama karst Gunungsewu. Karst ini dicirikan oleh perkembangan kubah karst (kegelkarst), salah satu bentuklahan positif yang lebih dikenal dengan kubah sinusoidal.
Lahan pertanian di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul didominasi oleh lahan kering, yakni berupa sawah tadah hujan dan tegalan. Kondisi ini menyebabkan pengusahaan lahan pertanian di wilayah ini sangat tergantung pada curah hujan.
Kondisi pertanian yang hanya dapat memproduksi hasil pertanian pada musim kemarau, menyebabkan produktivitas lahan pertanian menjadi kecil. Selain itu, produktivitas lahan yang rendah juga disebabkan karena lahan di kawasan karst Gunungkidul lebih banyak didominasi oleh lahan yang tidak cocok untuk pertanian (kelas lahan VII dan VIII), meskipun pada dataran alluvial dapat memiliki kelas kemampuan lahan sampai dengan II). Kondisi demikian seringkali diperparah dengan pemilihan jenis tanaman yang sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi lingkungan khususnya iklim, sehingga selain produktivitas pertanian menjadi rendah, seringkali petani mengalami kerugian akibat tanaman pertanian mati sebelum dapat dipanen.
Rendahnya pendapatan dari sektor pertanian akan menyebabkan terjadinya tekanan penduduk yang tinggi. Hal ini kemudian menyebabkan daya dukung lingkungan terlampaui serta menyebabkan berbagai dampak dari aktivitas manusia yang dapat merusak lingkungan. Lestariningsih dkk. (2013) menyebutkan bahwa tekanan penduduk di kawasan karst Gunungkidul adalah sekitar 3.08 sampai dengan 3,58. Hal ini berarti bahwa daya dukung lingkungan di wilayah ini telah terlampaui. Daya dukung lingkungan yang sudah terlampaui kemudian akan menyebabkan beberapa hal seperti perluasan lahan pertanian pada lahan-lahan marjinal yang didahului dengan penebangan hutan atau kayu-kayu di atas bukit dan membuat teras-teras untuk lahan pertanian. Kondisi demikian disampaikan pula dalam penelitian Sunkar (2008) dan Eiche (2011) yang menyampaikan bahwa telah terjadi deforestasi di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul yang menyebabkan hilangnya vegetasi tanaman tahunan di bukit-bukit karst. Selain itu, tekanan penduduk terhadap lahan yang besar kemudian menyebabkan terjadinya penambangan batu gamping yang mengancam kelestarian sumberdaya air bawah tanah yang selama ini telah dimanfaatkan untuk memenuhi sekitar 80% kebutuhan air di Kabupaten Gunungkidul.
Atas dasar semakin pentingnya konservasi kawasan karst Gunungsewu, Fakultas Geografi UGM bekerjasama dengan Environmental Geography Student Association (EGSA), Pemuda Pecinta Alam (PPA) Kabupaten Gunungkidul dan Pemuda Wira Buana (PAWANA) SMA N 1 Wonosari menyelenggarakan seminar sehari tentang konservasi kawasan karst. Tampil sebagai pembicara dalam seminar ini Ahmad Cahyadi, S.Si., M.Sc. dari Fakultas Geografi, Edi Dwi Atmaja, S.Si., S.Pd. dari Pemuda Pecinta Alam Kabupaten Gunungkidul serta Fredi Satya Candra Rosaji, S.Si. dari Cv. Mitra Geotama Yogyakarta. Acara tersebut dilaksanakan pada Minggu tanggal 23 Oktober 2016 di SMA N 1 Wonosari dan dilanjutkan dengan acara fieldtrip di Geosite Goa Ngingrong dan Geosite Resurgence Sungai Bawah Tanah Pantai baron. Kegiatan ini diikuti oleh 60 siswa SMA se-DIY dan Jawa Tengah dan 30 orang mahasiswa.