Indonesia terletak diantara pertemuan tiga lempeng besar dunia. Lempeng-lempeng tersebut diantaranya adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegempaan yang cukup tinggi. Bencana gempa bumi adalah bencana yang unik, dapat terjadi kapan saja dan sulit diprediksi kejadiannya dan di beberapa kondisi geomorfologi tertentu bahkan bencana ini sangat mematikan. Kejadian gempa di Bantul tahun 2006 silam ketika lebih dari 3000 orang menjadi korban adalah saksi dari dahsyatnya bencana ini.
Di dalam manajemen bencana gempa bumi ada sebuah fase yang dinilai sebagai fase yang sangat kritis. Fase tersebut adalah fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat dianggap sangat kritis karena segala bentuk penanganan awal korban dilakukan di fase ini. Pengambilan data yang tepat dan cepat menjadi poin penting dalam fase ini agar pengambilan keputusan berjalan dengan tepat, efektif dan efisien. Berawal dari latar belakang ini, tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Karsa Cipta Bagong yang terdiri dari Mahasiswa Fakultas Geografi, Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran Gigi UGM mengembangkan sebuah sistem assessment mandiri tanggap darurat bencana gempa bumi untuk memudahkan fase tanggap darurat. Tim terdiri dari Azzami Rasyid (Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi, angkatan 2012), Alya Rasyida Zahra (Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi, angkatan 2014), Fathin Naufal (Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, angkatan 2013), Aji Candra Lestari (Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, angkatan 2014) dan Aisyah Hafidzoh (Jurusan Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, angkatan 2013).
“Teknologi ini merupakan sistem terpadu yang dapat mengidentifikasi kondisi sesaat setelah bencana. Harapannya alat ini mampu untuk mendorong masyarakat terdampak bencana untuk melaporkan kondisi dampak bencana di lingkungannya secara mandiri bukan menunggu petugas untuk melakukan pendataan terlebih dahulu. Tujuannya agar para korban terdampak bencana segera dapat dievakuasi ataupun ditolong dan hal ini akan meminimalisasi kerugian-kerugian lainnya dari bencana,” tutur Naufal.
Menurut Alya dan Aisyah, Bagong ini sejatinya berwujud sebuah tas ransel harian biasa, hanya saja tas ini sedikit didesain khusus agar ada ruang untuk menyimpan perlengkapan penting yang dapat digunakan untuk penanganan darurat seperti P3K, sleeping bag dan swiss army. Selain itu yang terpenting dari tas ini adalah terkoneksinya tas ini pada sebuah sistem yang dipantau oleh server yang dikendalikan oleh pihak-pihak berwenang.
“Gempa bumi bisa terjadi kapan saja. Untuk itu kami menciptakan Bagong ini, sebuah tas ransel yang dapat dibawa ke mana saja sehingga jika gempa bumi terjadi di manapun dan kapanpun kita selalu siap. Tas ini ditekankan pada fungsinya bukan pada isinya. Tas ini dapat melaporkan posisi dan kondisi. Dengan adanya tas ini, masyarakat terdampak bencana dapat dilacak keberadaan dan kondisi lingkungannya,” terang Azzami.
“Saat ini Bagong masih dalam tahap prototipe. Kedepan pengembangan Bagong ini akan terus dilanjutkan dengan harapan Bagong dapat menjadi produk yang diproduksi secara massal oleh instansi terkait sehingga manajemen bencana di Indonesia menjadi lebih baik lagi,” tambah Candra. (FGE/Azzami)