Laboratorium Kartografi, Departemen Sains Informasi Geografi (SaIG), Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada(UGM) menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Nama Rupabumi dan Geografi: Sebuah Kelindan Literasi” pada Rabu (2/10) di Auditorium Merapi. Acara ini menghadirkan Harry Ferdiansyah, Ketua Tim Nama Rupabumi Badan Informasi Geospasial (BIG), sebagai narasumber.
Kuliah umum ini diikuti oleh mahasiswa angkatan 2025 yang ditujukan untuk mengenalkan sekaligus memperluas pemahaman mereka mengenai pentingnya literasi geografi-toponimi dan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam paparannya, Harry menyampaikan bahwa toponimi dapat menjadi alat bantu untuk mengurai kelindan informasi dalam ilmu kebumian. Sehingga, dalam hal ini dapat melihat bagaimana lindan dari berbagai data dapat dirangkum menjadi fakta sederhana, rapi, serta mudah dipahami melalui literasi geografi-toponimi.
“Kesalahan dalam penamaan geografis dapat berakibat fatal. Jika salah dalam survei, maka interpretasi data pun bisa keliru,” tambahnya.

Harry juga menjelaskan secara sederhana makna nama rupabumi dalam kehidupan sehari-hari. Ia mencontohkan penggunaannya pada musala, rumah, kantor kelurahan, atau toko buku. Pergeseran nama dari satu lokasi ke lokasi lain itulah yang disebut dengan nama rupabumi.
Nama rupabumi, lanjutnya, bukan sekadar penanda lokasi, melainkan juga bagian dari identitas, budaya, instrumen perencanaan, hingga alat mitigasi bencana.
Dalam konteks kebencanaan, nama rupabumi memegang berbagai peranan penting. Pada gempa Cianjur 2022, misalnya, daerah Cieundeur tercatat paling parah terdampak. Nama tersebut menjadi penanda karakteristik wilayah yang kemudian digunakan dalam mitigasi bencana. Begitu pula saat gempa Yogyakarta 2006, data nama dan koordinat lokasi sangat dibutuhkan untuk pemetaan tempat pengungsian, distribusi bantuan, serta identifikasi daerah rawan.
Lebih jauh, nama rupabumi juga terkait erat dengan aspek sejarah, sosial budaya, ekonomi, penataan ruang, hingga kedaulatan bangsa. Harry mencontohkan perubahan penamaan Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara yang menurutnya dapat mempengaruhi hubungan antarnegara. Hal itu, lanjutnya, memperlihatkan bagaimana nama rupabumi bisa berfungsi sebagai instrumen diplomasi sekaligus pertahanan identitas negara.
Dalam pemetaan, Harry menambahkan setidaknya terdapat empat lapisan (layer) yang saling berkaitan, yakni: (1) peta dasar yang dalam ini disusun oleh Badan Informasi Geospasial, kedua rencana berbasis spasial, status izin lahan, dan utilisasi. Keempat lapisan ini menuntut penggunaan kaidah penulisan nama rupabumi yang tepat agar menghasilkan data yang rapi, informatif, sekaligus indah untuk dibaca.
“Dalam usaha memahami bumi melalui dokumentasi (geo+grafi), diperlukan keterampilan mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, serta mengomunikasikan. Di sinilah literasi geografi-toponimi memainkan peran penting,” pungkas Harry.


