Kota pesisir di Indonesia saat ini mulai berkembang pesat sejak pembangunan di bidang industri dan permukiman meningkat. Selain itu, pesatnya perkembangan didukung kegiatan perekonomian daerah yang mengarah pada wilayah kepesisiran. Pertumbuhan ekonomi tersebut seringkali menjadi pemicu kerusakan lingkungan wilayah kepesisiran, bila tidak diimbangi dengan perencanaan wilayah berbasis pada pertumbuhan kota yang berkelanjutan (sustainable city).
Menurut Raditya Jati, S.Si., M.Si, pembangunan kota pesisir yang berkelanjutan memerlukan pemikiran, paradigma, dan kegiatan yang terimplementasikan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Bahwa permasalahan lingkungan fisik maupun non fisik di kota-kota pesisir, seringkali menjadikan pembuat kebijakan tidak memiliki alat atau metode untuk membuat suatu keputusan yang bersifat terpadu (integrated) pada tataran perencanaan dan dalam memberikan alternatif solusi terhadap permasalahan yang ada. “Seringkali implikasi kebijakan-kebijakan yang ada tidak ada pendekatan yang mengacu pada keberlanjutan suatu kota di wilayah kepesisiran. Hal ini ditunjukan dengan adanya perencanaan yang bersifat sektoral dan tidak kontinu,” ujarnya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (10/9) saat menempuh ujian terbuka program doktor Bidang Ilmu Lingkungan.
Berkembangnya kota-kota pesisir tersebut, kata Raditya, menjadi pemicu permasalahan dari aspek fisik, biotik, dan sosial yang memberikan dampak pada lingkungan termasuk daya dukung lahan, udara, air dan sosial-ekonomi-budaya. Kota pesisir ini juga menjadi kota dengan sistim terbuka (open system) yang dipengaruhi berbagai aktivitas yang ada di lahan buritannya (hinterland), termasuk kualitas lingkungan dan kerusakannya, perpindahan penduduk dari desa ke kota, serta interaksi dengan laut juga interaksi dengan daerah hulunya. Disamping itu, kota pesisiran memiliki zona pemanfaatan berbasis dalam menyajikan informasi berdasarkan tiga pendekatan, yaitu informasi mengenai kebijakan dan dasar hukum, kondisi bio-ecoregion (kesesuaian ekologi dengan wilayahnya) dan perspektif masyarakat terhadap bagaimana sumberdaya dikelola.
“Permasalahan di kota pesisir Cilacap menjadi isu penting karena wilayah kepesisiran kota ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan industri, pariwisata, pertambangan, perumahan, permukiman serta pertahanan. Kenaikan permukaan air laut di kota ini menjadi isu penting yang dapat mengubah ekosistem pantai, terjadinya erosi, serta terganggunya keberadaan permukiman dan kegiatan manusia di wilayah pesisiran,” paparnya saat mempertahankan desertasi “Model Pengelolaan Wilayah Kepesisiran Secara Terpadu Untuk Pengembangan Sistem Pendukung Keputusan Perencanaan Pembangunan Kota Pesisir Berkelanjutan, Kasus di kota Semarang dan kota Cilacap”.
Peneliti, Bada Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan kegiatan yang semakin banyak dilakukan di wilayah kepesisiran menambah kerusakan lingkungan terutama pada degradasi lahan, penurunan kualitas air bersih, dan pencemaran udara. Hal ini juga diakibatkan kepentingan sektoral yang masih terlalu dominan dan kerjasama antarsektor belum terpadu secara optimal.
Demikian pula di kota Semarang saat ini yang sudah mengalami permasalahan degradasi lahan penurunan tanah yang sudah di bawah permukaan air laut di Semarang Utara yang pada beberapa wilayah, penurunan tanah yang telah terjadi sudah mencapai lebih dari 8 cm per tahun, banjir yang menggenangi 1.200 ha dengan ketinggian mencapai 11 cm, dan lebih dari 5.500 ha lahan di Pantura Jawa Tengah terkena abrasi. Sekitar 300 ha tambak hilang karena erosi di sekitar Kali Plumbon, Marina, Tambak Emas, Tambak Lorok, dan sebelah terminal Terboyo. Belum lagi hutan mangrove di kota Semarang yang hilang atau rusak mencapai 11 hektar dari total luasan hutan mangrove 36,51 ha. Padahal luas mangrove yang ideal untuk kawasan pesisir Kota Semarang lebih kurang 325 ha.
Untuk itu, pengelolaan wilayah kepesisiran diperlukan suatu mekanisme yang kontinu secara iteratif melakukan program-program yang sesuai dengan kebutuhan karakteristik wilayah kepesisiran. Sehingga model pengelolaan dalam penelitian ini menggunakan model analitik DPSIR yang secara sistimatis merupakan tahapan-tahapan proses analisis diawali dengan pemicu permasalahan, tekanan, kondisi terkini, dampak yang dialami, serta respon atau tanggapan untuk mendapatkan solusinya yang secara iterasi menjadi siklus pengelolaan.
Kata Raditya, model dalam penelitian ini dikembangkan dari hasil focused group discussion yang dilakukan di kota Semarang dan kota Cilacap. FGD dalam tataran multipihak (stakeholders) dinilai efisien dan sistimatik, sekaligus menjadi langkah awal (entry point) dalam pembentukan forum yang peduli terhadap pengelolaan wilayah kepesisiran. “Permasalahan kota Semarang jauh lebih kompleks dibanding kota Cilacap, sehingga diperlukan berbagai alternatif solusi penyelesaian masalah. Indikator-indikator yang dihasilkan FGD menjadi masukan dalam komponen dasar dalam membuat DSS secagai model awal,” katanya menyimpulkan. (Humas UGM/ Agung)