Bertempat di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (15/2) mulai pukul 19.30 BEKAGE (Bengkel Kesenian Geografi) melaksanakan kegiatan pertamanya untuk tahun 2014, yaitu bekerja sama dengan AIESEC untuk menyelenggarakan sebuah penampilan bersama UKM kesenian lainnya, seperti UTB, UKJGS, dimana beberapa jenis kesenian ditampilkan, mulai dari drama, reog ponorogo, tari saman dll. Dalam acara ini BEKAGE mempersembahkan sebuah pementasan teater yang berjudul “Malin(g) Cinto”. Pementasan ini disutradarai oleh Tria Anggita Hapsari dan diperankan oleh anak-anak Teater Bumi dibantu dengan beberapa orang anggota BEKAGE lainnya diluar divisi teater. Pementasan teater “Malin Cinto” bercerita tentang pencarian cinta sejati seorang pria bernama Malin dari kota ke kota yaitu Bali, Ponorogo, Banyumas, Bandung, dan Aceh. Disetiap kota, penonton selain disuguhkan pementasan teater juga disuguhkan pementasan tari yang menjadi ciri khas dari tempat itu. Musik yang membantu pementasan ini dibawakan oleh anak-anak dari divisi musik. Lagu yang dibawakan pun juga merupakan lagu daerah dengan pembawaan jazz.
Cerita ini berawal dari Malin yang sudah bosan dengan kehidupannya dan menginginkan seorang cinta sejati. Maka dengan bekal restu bundonya ia memulai perjalanan menemukan cinta sejatinya besama sahabat karibnya yaitu Ian dengan menggunakan kapal milik datuk tetangganya. Setelah berhari-hari mengarungi laut, Malin tiba di Pulau Bali. Di pulau nan indah tersebut itulah ia bertemu dengan wanita cantik yang bernama Putu. Namun sayangnya Putu telah memiliki suami. Gagallah Malin untuk mendapatkan cinta sejatinya. Lalu Malin dan Ian melanjutkan perjalanan dan sampai di Ponorogo. Di sana Malin mengalami pertarungan yang sengit dengan petarung lokal untuk mendapatkan Putri Ponorogo. Setelah mengalami pertarungan yang sengit maka hadiah bagi Malin pun datang yaitu sang putri. Namun sangat disayangkan ternyata setelah dibuka cadarnya, terbongkarlah kenyataan bahwa putri yang dijadikan sebagai hadiah pertarungan ini adalah wanita jadi-jadian. Gagal lagi lah usaha Malin untuk mendapatkan cinta. Malin dan Ian tidak putus asa dan meneruskan perjalanan, hingga sampailah mereka di Banyumas. Disana mereka bertemu dengan seorang calon pengantin wanita yang sedang bersedih karena tidak mau dijodohkan. Lalu, Ian dan Malin membantu wanita itu untuk memporak-porandakan pesta pernikahan agar pernikahan tidak berlangsung dengan syarat wanita itu mau menjadi istri Malin. Namun sayangnya setelah pernikahan berhasil digagalkan, wanita tersebut ingkar janji dan pergi begitu saja. Lagi-lagi, Cinta sejatipun tak Malin dapatkan. Kota pemberhentian berikutnya adalah Bandung. Disana ia dan Ian bertemu dengan Sangkuriang yang sedang membuat perahu bersama kroco-kroconya demi mendapatkan hati dari seorang Dayang Sumbi. Sangkuriang mengajari Malin untuk bermain alat musik yang anti mainstream yaitu angklung. Namun Malin dan Ian malah bermain angklung dan menyanyikan lagu kukuruyuk. Karena liriknya yang seperti ayam berkokok maka Sangkuriang mengira hari telah fajar lalu mengamuk dan menendang perahu hingga tertelungkup. Ian dan Malin bingung dan pergi untuk meneruskan perjalanan. Di pulau Aceh Malin menemukan cinta sejatinya. Ia bertemu dengan seorang wanita bernama Cut Ayu. Ia ketinggalan untuk tampil menari Saman dan mau dijadikan istri oleh Malin. Setelah menikah Malin dan Cut Ayu kembali ke tanah minang untuk melihat kota kelahiran Malin. Namun saat bertemu dengan bundonya Malin tidak mengakui bundonya sebagai ibu dan malah memanggil datuk tetangganya yang kaya dengan sebutan ayah. Akhirnya bundo pun murka dan mengutuk semuanya menjadi batu. Termasuk Cut Ayu, Ian dan Datuk.
Dalam pementasan kali ini, tokoh Malin diperankan oleh Agam Rafsanjani, Ian diperankan oleh Fakhri Maulana Ibrahim, bundo diperankan Arum Sari Widiastuti, dan Haviz Damar sebagai narator. Dan pemain pendukung lainnya diperankan oleh anggota Teater Bumi dan beberapa anggota BEKAGE diluar divisi teater. Pementasan ini sepenuhnya didukung oleh Fakultas Geografi UGM. (FGE/Maulida)